Kelahiran |
0 Orang |
Kematian |
0 Orang |
Masuk |
3 Orang |
Pindah |
0 Orang |
Kelahiran |
0 Orang |
Kematian |
4 Orang |
Masuk |
18 Orang |
Pindah |
3 Orang |
28 Februari 2021 13:33:40 199 Kali
Lampung Visual.com-Tiyuh/desa Karta memiliki sejarah yang cukup panjang, sebelumnya berada di wilayah Lampung Utara, tepatnya sekitar tahun 1978/1979. Terjadinya pemekaran kabupaten kini tiyuh Karta berada di wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat. Tiyuh ini terbilang cukup tua, karena berdiri sejak abad ke-13. Konon kabarnya. tiyuh tersebut sejak zaman dahulu sudah memiliki sistem pemerintahan yang kuat dan telah dikenal secara luas di provinsi Lampung.(31/3/2017)
Menurut cerita salah satu tokoh Adat Karta, Nurdin Sahrajo atau lebih di kenal Minak Gayo Pikiran saat di konfirmasi oleh Editorial lampungvisual.com, mengungkapkan, tiyuh Karta berdiri pada abad ke XIII. Tiyuh ini didirikan oleh Kun Tunggal II, yang merupakan cucu dari Putri Bulan. Berdasarkan sejarah turun temurun dari generasi sebelumnya. Tiyuh tersebut awalnya bernama ”Kerto, Layo, Bujung, Tegaguk”. Artinya Kerto itu aman, Layo itu rata, Bujung itu Tanjung, dan Tegaguk adalah sebuah nama dari sejenis kayu hutan.
Pemberian nama ini secara umum didasarkan pada situasi desa tersebut cukup aman, lokasinya rata sampai ke way terusan. Lalu, terletak dalam lingkaran sebuah tanjung sungai Way Rarem yang penuh ditumbuhi kayu tegaguk. Kemudian, semenjak jaman penjajahan Belanda di Indonesia nama kerto layo bujung tegaguk lama kelamaan disingkat menjadi “Karta”. Nah, itulah awal mula desa tersebut diberi nama desa Karta sampai saat ini. Sedangkan, untuk asal-usul masyarakat desa Karta, menurut garis besarnya, asal-usul masyarakat tersebut dapat dibagi kedalam dua jalur keturunan yaitu; keturunan dari Putri Bulan (Buay Bulan) dan keturunan dari nenek moyang yang datang dari pulau Jawa sekitar tahun 1.500 sampai dengan 1.530 M lampau.
Uniknya, antara kedua jalur keturunan tersebut telah terjadi asimilasi yang begitu sempurna, sehingga dari segi adat istiadat Lampungnya tidak dijumpai adanya perbedaan apapun. Dimana, sejarah pemerintahan desa Karta pada mulanya, rakyat desa bernaung dalam kesatuan masyarakat adat atau masyarakat kebudayaan yang bernama marga. Yaitu Marga Buay Bulan udik yang meliputi Desa Karta, Desa Gunung Katun Tanjung, Desa Gunung Katun Malay, dan Desa Gedung Ratu. Sementara menurut silsilahnya, kebuayan masyarakat Desa Karta merupakan budaya yang tertua dalam garis kebudayan Putri Bulan. Sehingga desa tersebut ditetapkan sebagai pusat Marga Buay Bulan Udik.
Pada waktu itu, para kepala desa yang memerintah di Desa Karta hampir tidak berfungsi jabatannya. Dimana, tugas yang dilaksanakan sehari-hari hanya terbatas pada hal-hal tertentu saja, seperti pemungutan padi tanjung (salar), pemungutan pajak batu dan memimpin mata gawi (gotong-royong penduduk). Peraturan-peraturan yang berlaku di Desa Karta pada khususnya serta Marga Buay Bulan Udik pada umumnya, berasal dari hasil penetapan musyawarah penyimbang-penyimbang (kepala adat) semua Marga Buay Bulan Udik, yang lazim disebut dengan istilah sidang marga.
Semua bentuk masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat sehari-hari atau kasus-kasus yang terjadi antar penduduk, harus dan selalu dapat diatasi oleh penyimbang adat sesuai dengan ketentuan yang berlaku kecuali masalah pembunuhan. Untuk hukuman-hukuman terhadap kesalahan yang dilakukan oleh seseorang, dengan tegas diatur dalam pasal-pasal ketetapan sidang marga yang diberi judul “ilo-ilo pak, silip walu, cepalu wo belas.”
Sedangkan untuk hukuman bagi kesalahan-kesalahan biasa yang dijatuhkan pada umumnya berupa “denda uang”, yang dalam bahasa adat disebut “urun”. Tetapi apabila kesalaha itu dinilai dapat merusak norma-norma adat maka tersangka dapat dikeluarkan dari kesatuan adat. Dari hal tersebut, maka dapat dikatakan hampir tidak ada masalah yang penyelesaiannya ditangani oleh pemerintah. Hal itu disebabkan karena kekuasaan penerintah Belanda memang belum sepenuhnya menjangkau desa karta. Selain itu, juga disebabkan oleh kesatuan masyarakat adat yang begitu ketat.
Kemudian, baru pada bulan Februari 1929, pemerintah mengangkat seorang putra desa Karta yang bernama Ratu Pengadilan menjadi kepala Marga Buay Bulan Udik, dengan jabatan Pasirah.Pada waktu itu, kepala-kepala desa dalam Marga Buay Bulan Udik , yang sebelumnya tunduk pada Onderafdecling Menggala, berubah menjadi dibawah naungan Pesirah Buay Bulan Udik langsung.
Pada artikel ini
Untuk artikel ini
Hari ini | : | 491 |
Kemarin | : | 462 |
Total Pengunjung | : | 59.364 |
Sistem Operasi | : | Unknown Platform |
IP Address | : | 3.129.68.127 |
Browser | : | Mozilla 5.0 |